Oleh Muhammad Nur

Saya diminta oleh ketua Departemen Fisika Fakultas Sains dan Matematika untuk mengisi pemantik diskusi dan pemikiran pada pertemuan pengembangan kapasitas depertemen. Dalam suratnya tersirat strategi memasukai ranking 500 besar dunia untuk bidang Fisika dan Astronomi. Saya sanggupi, namun saya minta untuk membahas tak hanya terkait pemeringkatan. Walaupun saya terlibat serius dalam menggerakkan pemeringkatan Universitas Diponegoro pada tahun 2007-2011. Dalam perkembangan terakhir ini saya tidak begitu nyaman dengan terpacunya perguruan tinggi soal pemeringakatan ini. Pemeringkatan memerlukan biaya  yang tinggi dan bisa menyesatkan kita untuk heboh dalam angka-angka ranking. Target ranking yang bagus (bermartabat) dan tetap menjaga kontibusi yang berarti bagi masyarakat dan bangsanya (bermanfaat) tidaklah mudah. Dua fungsi berat inilah yang sering saya katakan ke sahabat dosen, gunakan strategi terbang miring.

Kreteria UNESCO vs Kreteria Pemeringkat Internasional

Pada bulan Mei 2011, Unesco melakukan diskusi yang melibatkan peneliti, akademisi, analis kebijakan, mahasiswa, dan pimpinan-pimpinan lembaga internasional, tentang tanggung jawab PT dan pemeringkatan. Tahun ini, Unesco baru saja menerbitkan  sebuah buku dengan judul Rankings and Accountability in Higher Education: Uses and Misuses (UNESCO, 2013). Buku ini lahir karena kekhawatiran Unesco dengan pola dan kretiria rangking yang ada, sehingga dari 16.000 an lebih perguruan tinggi seluruh dunia hanya 100 an saja yang tercatat dalam rangking. UNESCO, kemungkinan  mengambil pemeringkat yang sangat ketat seperti Shanghai Jio Tung, atau Times Higher Education (THE). Selebihnya, perguruan tinggi yang lain, bahkan yang lebih banyak mendidik warga dunia tidak tercatat. Ini sangat berbahaya.  Lain lagi QS sebagai lembaga pemeringkat dunia, dari 24.000 an PT, yang tercatat dalam peringkat  hanya sekitar 700. Dalam tulisan ini contoh yang diambil adalah QS, karena lebih relevan dan masih mungkin dicapai oleh perguruan tinggi di Indonesia. Sebagai lembaga pemeringkat internasional QS menekankan pada hasil riset yang dipublikasikan (sekitar 30 % reputasi akademik dari ilmuawan perguruan tinggi tersebut yang dinilai oleh pakar terhadap sebuah PT, dan 20 % tingkat sitasi  karya ilmiah sebuah PT oleh pakar dari PT lain). Jadi 50 % tergantung pada kualitas riset.  Berikutnya adalah hasil penilaian seberapa baik suatu institusi mempersiapkan lulusannya untuk pekerjaan, serta hubungannya dengan industri dan reputasinya di luar akademis sebesar 20%. Kriteria berikutnya adalah pengalaman belajar para mahasiswa di PT yang mencerminkan lingkungan belajar secara keseluruhan yang disediakan oleh lembaga pendidikan tinggi. Pengalaman belajar ini diukur  melalui tingkat dukungan yang ditawarkan kepada semua mahasiswanya tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi. Bobot penilian ini sebesar 10 %.  Kretiria berikutnya adalah keterlibatan Global dengan bobot 15 %. Keterlibatan Global ini bertujuan untuk mencerminkan internasionalisasi keseluruhan lembaga pendidikan tinggi, mengukur pandangan internasional suatu lembaga dalam hal mahasiswa asing, staf, dan hubungan penelitiannya di luar lokasinya sendiri.

Maraknya pemeringkatan perguruan tinggi, menimbulkan kekhawatiran bahkan dikalangan Unesco. Pemeringkatan telah mendorong beberapa negara untuk fokus pada segelintir elit perguruan tinggi dan dicemaskan dapat merusak prioritas dan kapasitas nasional. Lebih jauh lagi  strategi regional dari masyarakat ilmiah bisa saja bergerser karena tuntutan pencapaian kriteria yang didikte oleh lembaga pemeringkat. Berdasarkan hal tersebut,  Unesco coba lebih fokus pada  pewujudan  sistem yang berkelas dunia bukan pada kerja mandiri sebuah universitas kelas dunia. Kalau hanya terkunci pada universitas kelas dunia, ini sangat  membahayakan karena hanya mengarah kepada  universitas yang telah sangat maju dengan investasi sangat besar. Perguruan tinggi semacam ini akhirnya hanya diperuntukkan bagi kelompok elit tertentu.  Pemerintah dari sebuah negara dituntut lebih bekerja keras untuk menyelasarkan antara  prioritas nasional disuatu sisi dan pemenuhan  kriteria peringkat disisi lain.  Apa yang seharusnya di lakukan? Kita ketahui bersama bahwa posisi pendidikan tinggi di suatu negara sangatlah penting. Disisi lain tak semua negara mampu menyediakan pendanaan  besar untuk berinvestasi dalam bidang riset. Maka sangatlah bijak menempatkan kualitas pendidikan tinggi dalam kerangka komparatif dan berskala internasional yang lebih luas. Persepsi ini menjadikan terbukanya peluang dari perguruan tinngi negara berkembang untuk dapat  diperhitungkan. Dengan cara pandang ini, dunia pendidikan tinggi diharapkan lebih kompetitif dalam skala global dalam ranahnya lebih multi-polar. PT tak perlu memaksakan diri berinvestasi dengan biaya tinggi, namun mampu  memberikan kontribusi untuk penciptaan pengetahuan asalkan terpublikasikan secara internasional.

TRI DHARMA PT dengan cara pandang lebih

Civitas akademika merupakan aset yang sangat penting bagi sebuah perguruan tinggi. Juga berlaku bagi perguruan tinggi di Indonesia. Indonesia telah merumuskan dengan baik Tridharma yang menjadi penyangga bagi seluruh  kegiatan civitas akademika. Tridharma sudah menjadi ruh perguruan tinggi di Indonesia. Tiga pilar itu adalah darma pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tritunggal dharma tersebut telah menjadi budaya perguruan tinggi kita,  dan sampai pada hal yang paling mendasar dalam pembentukan kurikulum sebuah perogram studi. Dimana letak kelemahannya sehingga PT Indonesia berapa tahun terakhir terus merosot ranking dunianya? Kelemahannya adalah pada penghayatan masyarakat PT yang belum begitu dalam pada tridharma tersebut. Dalam persaingan global sekarang ini, perguruan tinggi dan lembaga riset merupakan suatu kekuatan utama agar mampu mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Untuk hal tersebut, PT perlu menyadari bahwa kekuatan tridharma dapat dimanfaatkan asalkan kita mampu menggunakannya dengan cara pandang lebih. Dharma pertama  seyogyanya menggunakan prinsip mendidik dan mengembangkan sumber daya manusia berkelanjutan. Dharma kedua sebaiknya menyentuh kemampuan menghasilkan ilmu dan teknologi baru melalui penelitian dan pengembangan. Akhirnya, dharma ketiga diusahakan  mampu berkontribusi pada pembangunan nasional melalui alih sains dan teknologi kepada masyarakat. Kegiatan tridharma tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun  yang  terkait satu dengan yang lain, akan dapat menghasilkan karya intlektual yang dapat didesiminasikan ke masyarakat dalam arti luas, melalui publikasi ilmiah, seminar, paten, lisensi, buku,  tulisan populer dan lain sebagainya. Kegiatan semacam inilah yang dapat dinilai oleh pemeringkat internasional, asalkan kegiatan-kegiatan tersebut tersebar secara internasional dan dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat internasional sehingga menjadi acuan (sumber sitasi). Jadi benang merahnya  adalah kemampuan mempublikasikan hasil kegiatan Tridharma secara internasional yang yang merupakan  unsur penting dalam penilaian universitas kelas dunia. QS memberikan bobot 30 % penilaian dari peer review dan 20 % dari jumlah karya ilmiah suatu PT disitasi oleh penggerak ilmu pengetahuan lain dari seluruh dunia. Semakin banyak karya yang dipublikasikan secara internasional, maka semakin dikenal suatu perguruan tinggi. Hal tersebut mendorong naiknya tingkat sitasi terhadap karya PT.  Perguruan tinggi  telah  berkontribusi bagi perkembangan sains dan teknologi. (Semarang, 14 Juli 2025)